Minggu, 02 Desember 2018

C. Hubungan Humor dan Tertawa

Humor dan tertawa erat sekali hubungannya, sehingga dapat dikatakan bahwa mereka itu sebenarnya adalah dwitunggal. Humor yang tidak dapat menimbulkan tertawa adalah bukan humor. Ini adalah menurut teorinya, namun dalam kenyataan ada juga humor yang tidak menimbulkan tertawa. Jika sampai hal ini terjadi, maka bukan berarti bahwa humor tersebut tidak lucu, melainkan ada beberapa faktor yang menghambatnya, yakni paling sedikitnya ada lima faktor kendalanya yaitu:
  1. Masalah bahasa yang kurang dimengerti oleh pendengarnya;
  2. Pembawanya kurang pandai dalam menyampaikannya;
  3. Pendengarnya tidak mengetahui konteks dari humor tersebut;
  4. Apabila ada represi secara psikologis yang kuat dari pihak pendengarnya; dan
  5. Pada umumnya harus disajikan dalam keadaan segar, tidak untuk kedua kali apalagi untuk ketiga kali bagi pendengar yang sama.

Untuk yang pertama misalnya seorang Batak yang totok baru pertama kali ke Jakarta, akan mengalami kesukaran dalam hal mengerti bahasa yang dipergunakan oleh para mahasiswa Jakarta, karena dalam bahasa Indonesia lisannya banyak sekali dibubuhi dengan istilah-istilah yang berasal dari bahasa Melayu Betawi, sehingga ia takkan dapat menikmati humor yang didengarkannya untuk pertama kali dari kawan Jakartanya.

Keterangan untuk yang kedua adalah suatu humor tidak akan menimbulkan rasa geli, apabila disampaikan oleh seorang yang gugup, sehingga tidak lancar sewaktu mengkomunikasikannya. Memang ada banyak humor yang menjadi tidak lucu atau kurang lucu, hanya karena pembawanya kurang pandai. Pembawa sebuah humor harus mempunyai bakat sebagai pemegang peran. Suatu humor sering menjadi rusak, hanya karena si pembawanya sendiri sudah tertawa terlebih dahulu. Lucunya sebuah humor sering dapat diperhebat jika ditambah dengan mimik lain dan gerak isyarat yang lucu dari si pembawanya. Dan ini tidak mudah, karena untuk itu perlu ada bakat atau latihan khusus sebagai pembawa peran dalam seni pentas.

Faktor kendala yang ketiga adalah yang paling penting, karena untuk tertawa kita harus dapat mengasosiasikan latar belakang dari istilah-istilah, yang diajukan dalam humor tersebut. Sebagai contoh misalnya, adalah teka-teki humor mahasiswa Jakarta yang beredar di sekitar tahun tujuh puluhan:
"Apa bedanya kelapa, Mic and Mac, Kojak dan Eddy Silitonga?" Jawabnya adalah: "Kelapa batok, Mic and Mac butik, Kojak botak, dan Eddy Silitonga Batak!"
Jawab teka-teki ini baru dapat menimbulkan tertawa bagi pendengarnya apabila ia mengetahui juga konteks dari teka-teki ini. Jawab teka-teki humor ini menjadi lucu karena selain bentuk sajak, juga karena dapat mengingatkan (mengasosiasikan) ingatan pendengarnya pada keadaan Jakarta di sekitar tahun 1977 sampai tahun 1981-an. Batok adalah tempurung kelapa. Mic and Mac adalah nama sebuah toko penjual pakaian model mutakhir dari luar negeri, sehingga disebut dengan istilah butik (berasal dari kata Prancis: boutique). Kojak adalah tokoh film seri untuk televisi yang diperani oleh bintang film Amerika terkenal yang berkepala botak itu. Sedangkan Eddy Silitonga adalah penyanyi pop Indonesia, yang sangat terkenal pada tahun-tahun 1970-an. Ia adalah seorang Batak Toba. Perlu kiranya selalu diingat bahwa sebuah humor biasanya menceritakan sesuatu yang aktual dari masa ia diciptakan.

Selanjutnya tertawa yang ditimbulkan oleh suatu humor harus spontan dan bukan terlambat. Dan tertawa yang spontan sewaktu mendengar suatu bentuk humor baru dapat terjadi apabila pendengarnya juga paham sekali akan latar belakangnya (konteksnya), sehingga tidak perlu dijelaskan dahulu secara panjang lebar sebab lucunya, seperti yang telah kami lakukan tadi sewaktu membicarakan teka-teki lucu mengenai kelapa, Mic and Mac tersebut. Itulah sebabnya teka-teki itu tidak akan menimbulkan tertawa bagi generasi baru yang tidak kenal pada toko Mic and Mac (yang kini sudah tidak ada), atau tidak pernah melihat film serial televisi Kojak, atau mendengar suara dari Eddy Silitonga yang dulu pernah tenar itu.

Kendala yang keempat juga penting, karena dari pihak pendengarnya sudah ada perlindungan diri secara psikologis untuk menolak menanggapi suatu humor dengan tertawa. Hal ini terutama pada waktu seorang menghadapi humor yang bersifat erotik. Seseorang yang berpendidikan moral kesusilaan sangat ketat terhadap seks, akan selalu berusaha untuk tidak tertawa pada waktu disajikan humor yang bersifat erotik. Bahkan orang demikian itu akan menanggapi humor erotik dengan muka masam. Namun manusia itu tidak dapat selalu dalam keadaan waspada, sehingga apabila ia lengah maka ia akan tertawa dengan terbahak-bahak. Dan setelah sadar ia baru akan menjadi menyesal dan malu sekali. Dengan ekspresi malu ia akan mencaci, "Kurang ajar lu!" Itulah sebabnya sebuah humor yang baik harus juga bersifat kejutan, sehingga dapat menembus semua hambatan psikologis para pendengarnya. Suatu kesalahan besar yang sering diperbuat oleh seorang pembawa humor yang amaturis, adalah memberi pengantar kata sebagai berikut, "Maaf ya! lelucon ini agak berbau porno!" Nah, dengan pengantar kata demikian itu akan binasalah sebuah lelucon sebelum disampaikan.

Adanya empat jenis kendala itu menyebabkan mengapa humor dapat pula digolongkan menjadi kategori berdasarkan perbedaan usia, atau perbedaan pendidikan. Yakni menjadi humor kanak-kanak, remaja atau orang dewasa, atau humor orang tidak terpelajar atau humor orang terpelajar dan sebagainya.

Humor anak-anak biasanya lebih sederhana daripada humor para remaja ataupun orang dewasa, namun bukan berarti bahwa humor kanak-kanak tidak ada yang porno, Anak-anak kecil juga mempunyai repertoar humor yang erotik, namun biasanya mereka rahasiakan pada orang dewasa, sehingga orang dewasa mendapat kesan bahwa anak-anak adalah makhluk sebangsa malaikat. Humor dari anak-anak ini sejauh pengetahuan saya belum dikumpulkan orang apalagi diterbitkan, sehingga dapat menjadi obyek penelitian bagi mereka yang ingin menulis skripsi, tesis, maupun disertasi.

Humor dari kelompok terpelajar sudah tentu berbeda dengan kelompok tidak terpelajar. Isi humor dari golongan pertama sudah tentu lebih sophisticated daripada kelompok kedua. Dan biasanya humor dari kelompok terpelajar lebih bersifat kosmopolitan, sedangkan humor dari kelompok tidak terpelajar lebih bersifat kedaerahan. Sepengetahuan kami humor dari kelompok yang tidak berpendidikan Barat belum banyak diteliti apalagi diterbitkan orang di Indonesia. Bentuk humor dari golongan ini yang pernah diteliti dan diterbitkan orang adalah yang bersifat tradisional seperti humor mengenai tokoh lucu karena pandir seperti Si Kebayan dari Pasundan, yang pernah diteliti a.l. oleh L.M. Coster-Wijsman (1929) dan Achdiat K. Mihardja (1963); Pan Balangtamak dari Bali, yang a.l. pernah diteliti oleh G.J. Grader (1969); Singa Rewa dari Kalimantan yang pernah kami tulis (Danandjaja, 1971), atau Pak Kadok, Pak Pandir, Lebai Malang, Pak Belalang, dan Luncai dari Malaya, yang pernah diteliti oleh R.O. Winstedt dan Sturrock (1908).

Namun lelucon dari para petani, tukang becak, kuli, dan lain-lain dari masa kini belum diteliti orang, karena kita tidak mengetahui bentuk apa humor mereka, apakah masih berkisar pada tokoh-tokoh lucu tradisional atau dalam bentuk lain lagi.

Yang menarik dalam humor golongan terpelajar, termasuk juga para mahasiswa Jakarta, ada beberapa tokoh lucu tradisional yang tetap mereka pergunakan sebagai media menyampaikan protes sosial di dalam humor mereka. Pada masyarakat Jakarta tokoh tersebut adalah Si Kebayan yang mereka jadikan anekdot dalam repetoar humornya, sehingga dengan jalan ini tokoh tersebut menjadi petani.

Sebagai akibatnya, humor para mahasiswa Jakarta agak khas bentuknya, karena walaupun mereka tergolong kelompok terpelajar, namun mencakup juga sifat humor dari kelompok tidak terpelajar. Hal ini disebabkan karena sifat mereka yang memberontak dan ingin juga mengidentifikasikan dirinya dengan rakyat jelata atau bahkan juga dengan para penyimpang (deviants). Hal ini terbukti, selain mengadopsi tokoh-tokoh lucu rakyat jelata seperti Si Kebayan, mereka juga mempergunakan istilah "prokem" (yang asalnya adalah bahasa penjahat) di dalam bahasa lisan sehari-hari mereka.

Sebagai penutup dapatlah dikatakan bahwa sebuah humor akan menimbulkan tertawa bagi pendengarnya, apabila ia mempunyai beberapa sifat, yakni a.l.: (1) sifat kejutan, karena mengungkapkan sesuatu yang tidak terduga; (2) sifat dapat mengecohkan orang, sehingga membuat pendengarnya kecele; (3) sifat melanggar tabu, yakni mengungkapkan kata-kata yang dianggap tidak senonoh oleh adat masyarakatnya, seperti yang berhubungan dengan seks; (4) sifat yang aneh karena tidak biasa; (5) sifat tidak masuk akal dan tidak logis; (6) sifat kontradiktif dengan kenyataan; (7) sifat kenakalan untuk mengganggu orang lain; dan (8) sifat mempunyai arti ganda bagi suatu kata yang sama. Sifat ini biasanya terjadi pada humor teka-teki yang bersifat permainan kata (punning).

Contoh dari humor yang mempunyai sifat no (2) adalah teka-teki yang berbunyi sebagai berikut: "Benda apa yang berwarna sawo matang, berbentuk panjang tegang, dan terletak di antara kedua paha seorang pria atletis, dan sebentar-sebentar dipegang-pegang dan dielus-elus dengan bernafsu?" Menghadapi pertanyaan ini, asosiasi para pendengar pada mulanya tentu adalah "alat kelamin pria!" Namun di dalam kenyataannya bukan demikian, karena jawabnya sama sekali tidak berbau porno. Hal ini disebabkan karena jawabnya yang "benar" adalah: "rem becak" Teka-teki semacam ini di dalam ilmu folklor terkenal dengan nama Teka-teki seolah-olah Cabul (pretended obscene) (Brunvand, 1968: 58). Orang akan tertawa pada waktu menghadapi jawab teka-teki semacam ini, karena merasa dirinya terkecoh setelah untuk beberapa saat tegang karena moral salehnya tersinggung oleh pertanyaan nakal tersebut. Jadi teka-teki ini menjadi lucu karena selain mengandung sifat penggelitik no (2), juga sifat-sifat penggelitik nomor-nomor (3) dan (7). Yang menarik dari humor ini walaupun pembawanya berani sumpah mengatakan bahwa ia sama sekali tidak bermaksud mengutarakan sesuatu yang bersifat porno, namun dalam kenyataannya memang demikian tujuan sebenarnya.

Contoh dari humor yang mengandung sifat penggelitik nomor (6) adalah lelucon mengenai bintang film Meriam Bellina, sewaktu diajak kawannya untuk mendaftarkan diri masuk ke UT (Universitas Terbuka). Reaksinya adalah: "Apa? masuk ke Universitas Terbuka! Engga ah! Gua sih engga suka buka-buka! Lelucon ini dapat mengundang tawa karena bersifat kontradiktif, yakni bintang film yang sering memainkan adegan telanjang, haram memasuki perguruan tinggi yang ia sangka para mahasiswanya yang kuliah di sana harus menanggalkan seluruh pakaiannya, jadi semacam nudist camp.


Akhirulkalam perlu kiranya selalu diingat bahwa seperti folklor pada umumnya, humor juga mempunyai beberapa ciri hakiki seperti: 1) berbentuk lisan (atau lisan yang sudah ditranskripsikan ke dalam bentuk tulisan); 2) milik kolektif; 3) bersifat anonim; 4) bersifat aktual dengan kejadian dalam masyarakatnya pada masa tertentu; 5) bersifat spontan dan polos; dan 6) mempunyai fungsi dalam kehidupan masyarakatnya.


Berdasarkan adanya ciri-ciri hakikat tersebut maka kita akan mengerti mengapa tidak ada pembawa humor yang mengakui bahwa apa yang dibawakan itu adalah hasil ciptaannya sendiri, biarpun dari pihak pendengar ada yang menduga akan hal itu. Namun karena adanya ciri kolektif dan anonim, maka pencipta suatu humor akan selalu diremehkan dan tidak akan ada yang ingin mengetahuinya. Suatu cara yang ampuh untuk mematikan suatu humor sebelum beredar luas adalah menyebutkan nama penciptanya, apalagi dengan mendapatkan hak ciptanya. Suatu humor akan menjadi populer apabila dianggap menjadi milik suatu kelompok. Dan suatu humor menjadi menarik karena bersifat aktual pada suatu masa, serta ada hubungannya dengan kejadian dalam suatu masyarakat. Dan karena semua itu maka suatu humor mempunyai fungsi bagi kehidupan masyarakatnya.

Sehubungan dengan sifat keaktualannya, maka sebagai ahli folklor kita takkan menjadi kaget pada waktu menghadapi fenomena yang terjadi akhir-akhir ini di Jakarta. Yakni sejak tahun 1987 ini di Jakarta telah terlanda terutama di kalangan para pelajar, mulai dari tingkat SD sampai SLTA, mahasiswa dan sebagian kaum pegawai, baik pemerintah maupun swasta, suatu gejala sosial budaya berupa kegemaran bermain tebak-tebakan atau teka-teki yang dilakukan di antara sesama teman bersantai di sekolah, kampus atau di kantor. Teka-teki yang dilontarkan umumnya adalah berkisar pada teka-teki mengenai bahasa asing, terutama Jepang, seperti: "Apa bahasa Jepang dari kata obral?". Jawabnya adalah: "Ni Kita Kashi Mura!"; atau: "Mengapa orang Jepang pada waktu memperkenalkan nama Jepangnya pada seorang gadis Indonesia, ia mendapat tamparan di mukanya?" Jawabnya adalah: "Karena namanya berbunyi Susumu Kuraba!" atau: "Kalau orang Rusia kawin dengan orang Sunda, nama apa yang akan diberikan pada anaknya?" Jawabnya: "Cecep Gorbachev!" Kita tidak akan menjadi kaget karena memang kebudayaan Jepang, melalui pengaruh barang-barang ekspornya sedang melanda negara kita, sehingga fungsi dari teka-teki lucu ini selain untuk rekreasi, juga untuk mengurangi ketegangan jiwa karena kuatir akan terbenamnya ekonomi kita oleh Jepang. Dan mengenai Gorbachev, memang tokoh Rusia ini kini merupakan pemimpin dunia yang populer dan aktual.

Seperti telah kami uraikan di atas, maka karya kami ini akan kami batasi pada penyajian humor dari folk mahasiswa Jakarta, khususnya yang belajar di Universitas Indonesia dan pernah mengikuti kuliah folklor saya di antara tahun 1971 sampai dengan tahun 1987. Dan humor yang disajikan di dalam buku ini terbatas pada bentuk-bentuk lelucon dan teka-teki saja.

Isi buku ini terdiri dari tiga bagian, yakni I. Psikoterapi bagi Masyarakat; II. Contoh-contoh Lelucon dan Anekdot Mahasiswa Jakarta dan III. Kepustakaan. Untuk bagian pertama (Psikoterapi bagi Masyarakat) dibicarakan mengenai: Hakikat Humor, Fungsi Humor dan Hubungan Humor dan Tertawa. Dan bagian kedua terdiri dari Humor-humor yang bersifat Erotik dan Humor-humor yang bersifat Nonerotik.
_________________________________________________________________________________

Tidak ada komentar:

Posting Komentar