Jumat, 07 Desember 2018

Lelucon dan Anekdot mengenai Pejabat Pemerintah atau Negarawan

Rumput Manila, Monas dan Lubang Buaya

Beberapa waktu yang lalu Nyonya Imelda Marcos dari Filipina berkunjung ke Indonesia. Pada saat penyambutan kedatangannya seluruh masyarakat Indonesia menyambutnya dengan gembira. Segala sesuatunya telah dipersiapkan secermat-cermatnya.

Tibalah saat yang dinanti-nantikan itu. Menteri urusan hura-hura beserta nyonya telah siap menyambut kedatangannya di lapangan udara, demikian juga para stafnya.

Ketika kapal terbang membawa Nyonya Marcos telah mendarat dengan selamat, keluarlah Nyonya Marcos dari pesawat yang membawanya. Dengan baju yang berwarna merah kembang-kembang, ia turun dari pesawat dengan anggunnya sambil menerima uluran tangan dari menteri kita. Karena cantiknya secara tidak sadar berkatalah beliau kepada Nyonya Marcos, "Cakep nih, ye..."


Tidak lama kemudian beliau meneruskan pembicaraan dan berkata bahwa khusus untuk Nyonya Marcos tersebut telah disediakan sebuah "monumen" nasional yang telah berdiri tegak dengan gagahnya. Mendengar pernyataan itu sambil tersenyum-senyum Nyonya Marcos menjawab bahwa dia juga telah menyiapkan "rumput" manila yang khusus didatangkan dari Filipina.

Mendengar percakapan yang agak 'menjurus' itu, ibu menteri merasa tidak senang. Dengan geram ia mencolek bahu Nyonya Marcos seraya berkata, "Hei..., Imelda, hati-hati..., di sini juga ada 'lubang buaya' yang sudah menelan tujuh orang jenderal ke dalamnya!"
(Indah S., 1986)
---------------------------------------------------------------------------------------------------------

Kutilnya Nyangkut

Pada suatu hari, seorang wedana sedang berpidato di depan rakyat. Ketika itu lewatlah seorang janda muda yang cantik dan montok. Terbit juga selera wedana melihatnya. Ia segera menanyakan kepada camat nama dan alamat janda itu. Camat bertanya pula kepada lurah. Lurah bertanya kepada juru ketik. Juru ketik bertanya pada pesuruh. Akhirnya pesuruh yang berhasil mencari nama dan alamat janda itu. Setelah disepakati, wedana pun datang dan masuk ke rumah janda untuk main cinta. Lima menit kemudian, ia sudah selesai. Lalu gantian giliran camat. Lamanya sepuluh menit "Wah, kurang ajar," pikir wedana.

Lalu masuk pula lurah, yang baru keluar setelah lima belas menit. Kemudian tiba-tiba giliran juru ketik. Ia baru keluar setelah menghabiskan waktu dua puluh menit. Terakhir giliran si pesuruh, yang kedudukannya paling rendah. Wedana, camat, lurah dan juru ketik menunggu dengan tidak sabar. Lima, sepuluh, lima belas, dua puluh, dua puluh lima menit belum juga keluar. Tiga puluh menit di dalam baru keluarlah si pesuruh dengan bermandi keringat. Bapak-bapak yang lain menyerbu dengan seribu pertanyaan, "Koq, lama benar, kurang ajar betul!"

Dengan muka malu, si pesuruh menjawab, "Anu Pak, kutil saya nyangkut!"
(Frieda Amran, 1980)
---------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sama-sama Terlambat

Suatu hari seorang pejabat yang juga seorang seniman, berkenan membuka pameran lukisan. Setelah meresmikan, sang pejabat melihat-lihat sambil memberi komentar atau kritik. Pada sebuah lukisan ia memperhatikan dengan penuh perhatian. Tiba-tiba ia mengangguk-angguk ketika membaca judulnya. "Tepat sekali," katanya sambil tersenyum. Lukisan itu ternyata lukisan seorang wanita hamil dan roti bakar yang terbakar hangus. Judulnya "Terlambat Mengangkat".
(Endang Kironosasi W., 1980)
---------------------------------------------------------------------------------------------------------

Menghormati Kumis Hitler

Hitler terkenal sebagai seorang pemimpin yang bertangan besi, semua perintahnya harus ditaati.

Suatu siang ketika seorang anggota Nazi sedang berjalan-jalan dan akan melewati bendera Amerika, semestinya ia tidak memberi hormat, tetapi aneh sekali kelakuan tentara itu karena justru ia membungkuk-bungkukkan badannya seperti sedang menghormati bendera tersebut.

Melihat kejadian ini seorang temannya bertanya, "Mengapa kau menghormati bendera Amerika?"

"Aku tidak menghormati bendera itu, tetapi memberi hormat pada 'pemimpin kita' (yang dimaksud adalah Hitler)," jawabnya.

"Tetapi", temannya mengatakan, "aku tidak melihatnya di sana."

"Tentu saja jika kau tidak melihatnya, karena yang aku lihat tadi adalah 'kumis' pemimpin kita Hitler yang sedang dipinjam oleh ibu yang sedang 'ngongkong' persis di bawah bendera itu." jawabnya  lagi.

Sambil berlalu sang teman menggerutu, "Dasar tentara sinting!"
(Caturati  Wanityarti, 1980)
---------------------------------------------------------------------------------------------------------

Istri Napoleon

Konon kabarnya Napoleon mempunyai seorang istri yang sangat cantik dan sexy. Suatu saat Napoleon hendak berhenti berperang, dan karena takut istrinya akan berbuat serong, sebelum ia pergi menyelipkan sebuah silet ke dalam "anunya" sang istri. Jadi, jika ada benda-benda asing yang berani-berani masuk, niscaya akan langsung terpotong oleh silet itu.

Setelah itu ia pun pergi dengan tenang. Setelah beberapa bulan, ia kembali lagi. Sesampainya di Istana, ia langsung memeriksa semua prajurit tanpa terkecuali. Ternyata hasil pemeriksaan itu sangat mengecewakan karena para prajuritnya itu semua sudah terpotong "anunya" dan ada juga yang terpotong jempolnya.

Tetapi herannya ada seorang prajurit yang "alatnya" masih utuh, dan begitupun jempolnya. Napoleon langsung memuji-muji kesetiaan prajurit yang satu ini, karena itu berarti ia tidak berbuat serong dengan istrinya. Ia langsung membuat upacara penghargaan kepada prajurit itu dan pangkatnya dinaikkan dua tingkat,. Anehnya pada saat Napoleon memberikan ucapan selamat, sang prajurit diam saja. Setiap kali diajak bicara ia tidak pernah buka mulut dan diam terus. Napoleon jadi emosi dan diperintahkannya prajurit itu untuk membuka mulut. Ketika si prajurit membuka mulutnya, betapa Napoleon terkejut karena ternyata si prajurit lidahnya yang terpotong...
(Dian Sulistiawati, 1986)
---------------------------------------------------------------------------------------------------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar