Sabtu, 24 November 2018

A. Hakikat Humor

Istilah humor berasal dari istilah Inggris humor, yang pada mulanya mempunyai beberapa arti. Namun semua berasal dari istilah yang berarti cairan. Arti ini berasal dari doktrin Ilmu Faal kuno mengenai empat macam cairan, seperti darah, lendir, cair empedu kuning, dan cair empedu hitam. Keempat cairan tersebut untuk beberapa abad dianggap menentukan temperamen seseorang (Flugel, 1959:709).

Dalam karangan ini humor dipergunakan dalam arti sesuatu yang bersifat dapat menimbulkan atau menyebabkan pendengarnya (maupun pembawanya) merasa tergelitik perasaannya, lucu, sehingga terdorong untuk tertawa. Hal ini disebabkan karena sesuatu yang bersifat menggelitik perasaan, karena kejutannya, keanehannya, ketidakmasukakalannya, kebodohannya, sifat pengecohannya, kejanggalannya, kekontradiktifannya, kenalakannya dan lain-lain.

Sesuatu yang bersifat lucu ini seperti telah disebut di atas, dapat berbentuk dongeng yang lucu (lelucon), teka-teki yang jawabannya lucu, puisi rakyat yang lucu, maupun nyanyian rakyat yang lucu. Menurut hasil koleksi kami, humor dari para mahasiswa Jakarta sebagian besar berbentuk lelucon; dan setelah itu teka-teki.

Bahan-bahan yang dipergunakan untuk menyusun buku ini, sebagian besar kami ambil dari koleksi kami yang kini disimpan di Jurusan Antropologi FISIP-UI, yakni di arsip folklor. Koleksi ini telah dilakukan sejak tahun 1971, yakni sejak Ilmu Folklor untuk pertama kali kami perkenalkan di Indonesia.

Di dalam buku kami berjudul Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng dan lain-lain (1986: 117), lelucon kami golongkan ke dalam bentuk folklor yang disebut dongeng. Dan dongeng termasuk salah satu cerita prosa rakyat. Akibatnya, seperti halnya dengan dongeng, maka lelucon adalah cerita pendek lisan yang bersifat fiktif lucu, sehingga orang-orang yang menjadi bulan-bulanan di dalam suatu lelucon, tidak usah menjadi marah karenanya. Karena jika mereka marah, maka dapat menunjukkan bahwa secara emosional mereka belum dewasa.

Lelucon selanjutnya, menurut Ilmu Folklor, dapat dibagi menjadi dua subkategori, yakni: lelucon dan anekdot. Perbedaan lelucon dan anekdot adalah jika anekdot menyangkut kisah fiktif lucu pribadi seorang tokoh masyarakat, atau beberapa tokoh masyarakat yang benar-benar ada; maka lelucon menyangkut kisah fiktif lucu dari anggota suatu kelompok (folk), seperti suku bangsa, golongan, bangsa, ras dan lain-lain. Jadi kisah fiktif lucu dari Albert Einstein yang dianggap pikun itu adalah anekdot; sedangkan kisah fiktif lucu dari seorang Cina yang dianggap mata duitan itu, adalah lelucon (Danandjaja, 1986: 118).

Anekdot dapat dianggap sebagai bagian dari "riwayat hidup" fiktif pribadi tertentu, sedangkan lelucon dapat dianggap sebagai "sifat" atau "tabiat" fiktif anggota suatu kolektif tertentu. "Riwayat Hidup" maupun "tabiat" tokoh-tokoh anekdot maupun lelucon kami sebut fiktif, karena bukan berdasarkan fakta melainkan berdasarkan prasangka yang disebabkan oleh sentimen atau pengetahuan yang berdasarkan stereotip.* Dengan mengetahui hal ini, maka tidak ada alasan bagi seseorang, beberapa orang, atau suatu kelompok untuk merasa tersinggung, marah, apalagi mendendam untuk membalas sakit hati apabila menjadi sasaran suatu anekdot atau lelucon.
_________________________________________________________________________________
*Prasangka (Prejudice) adalah keyakinan atau pendapat yang bersifat positif maupun negatif, yang dibuat tanpa dilandasi oleh bukti-bukti yang cukup. Sifatnya tidak mudah diubah, walaupun dalam kenyataanya ada bukti-bukti yang cukup. Sifatnya tidak mudah diubah, walaupun dalam kenyataannya ada bukti-bukti kuat yang menyatakan kebalikannya (English & English, 1959: 404). Sentimen adalah bermacam-macam perasaan hati yang berkelebihan terhadap sesuatu (Poerwadarminta, 1976: 919). Sedangkan stereotip adalah suatu pengamatan atau pandangan yang secara relatif kaku dan terlalu sederhana, bahkan salah mengenai seorang atau suatu kelompok (English & English, 1959: 523). Stereotip mengenai seorang Yahudi yang kikir misalnya, adalah suatu contoh yang baik.
_________________________________________________________________________________

Selanjutnya berdasarkan perbedaan saran dilontarkannya suatu lelucon, lelucon perlu dibedakan lagi menjadi lelucon dan humor. Yang menjadi sasaran dalam lelucon adalah orang atau kelompok lain, sedangkan yang menjadi sasaran humor adalah diri pribadinya sendiri atau kelompok si pembawa cerita sendiri. Jadi seorang pelawak pembawa lelucon (badut) berbeda dengan seorang pelawak humoris.  Yang pertama sering dibenci orang karena mengyinggung perasaan orang atau kelompok lain, sedangkan yang kedua disenangi orang, karena ia tidak mengganggu perasaan orang lain atau kelompok orang lain. Memang secara psikoanalisis boleh dikatakan bahwa seorang badut dengan tidak sadar mengarahkan perasaan agresifnya ke luar, sedangkan seorang humoris mengarahkan perasaan agresifnya ke dalam diri pribadinya sendiri. Jadi dalam batas-batas tertentu dapatlah dikatakan bahwa seorang badut adalah seorang sadis, sedangkan seorang humoris adalah seorang masokhis. Badut yang paling terkenal, yang bernasib tragis sebagai akibat profesinya itu, adalah tokoh Rigoleto dari opera karya Giuseppe Verdi; sedangkan contoh seorang humoris di Indonesia adalah pelawak terkenal Ateng, yang dalam melucu kebanyakan telah menjadikan bangun tubuhnya yang kerdil itu sebagai sasarannya, sehingga pendengarnya bukan saja dihibur, tetapi juga merasa simpatik padanya (Danandjaja, 1986: 119)

Berdasarkan bahan-bahan yang kami kumpulkan dari tahun 1971 sampai kini, lelucon dan anekdot yang beredar di kalangan mahasiswa di Jakarta, paling sedikit dapat diklasifikasikan ke dalam 2 kategori besar yakni: A. Erotik dan B. Nonerotik, dan masing-masing kemudian dapat diperinci lagi ke dalam beberapa subkategori sebagai berikut:

  1. Lelucon dan anekdot mengenai agama dan pejabat agama.
  2. Lelucon dan anekdot mengenai pejabat pemerintah dan negarawan.
  3. Lelucon mengenai suku bangsa (ethnic slur) atau bangsa.
  4. Lelucon mengenai orang pintar.
  5. Lelucon mengenai orang bodoh.
  6. Lelucon dan anekdot mengenai tokoh angkatan bersenjata.
  7. Lelucon dan anekdot mengenai profesor.
  8. Lelucon mengenai suami-istri.
  9. Lelucon mengenai dokter dan pasien.
  10. Lelucon mengenai homoseks dan sejenisnya.
  11. Lelucon mengenai orang tua.
  12. Lelucon mengenai anak kecil.
  13. Lelucon mengenai pemilihan umum.
  14. Lelucon mengenai najis (coprojokes).
  15. Lelucon mengenai dialek.
  16. Lelucon mengenai binatang.
  17. Lelucon dan anekdot lainnya.
Teka-teki lucu yang terdapat di dalam koleksi kami, juga dapat digolongkan ke dalam yang erotik dan yang nonerotik. Khusus bagi yang erotik dapat dibagi menjadi "yang biasa" dan "yang seolah-olah cabul" (pretended obscene).

Dari koleksi kami yang kini disimpan dalam arsip Jurusan Antropologi, FISIP-UI, ternyata mencakup humor yang bersifat seksual; bersifat protes sosial; bersifat menghina suku bangsa (ethnic slur), bangsa lain atau kolektif lain; dan bersifat jorok atau najis.

Kegemaran para mahasiswa terhadap lelucon atau anekdot bersifat seksual dapat kita maklumi, apabila mengingat bahwa para mahasiswa ini sebenarnya secara seks sudah dewasa, namun secara ekonomi mereka "belum" lagi dewasa, sehingga terpaksa harus mengekang semua dorongan seksualnya sampai sudah selesai dengan pendidikannya, dan mulai berpenghasilan, karena kalau tidak anak-anak yang diperolehnya harus diberi makan batu kerikil saja. Dan sebagai kita ketahui dorongan naluri yang dikekang harus diberi penyaluran, agar si mahasiswa yang bersangkutan dapat terjamin kesejahteraan jiwanya. Salah satu penyalurannya dapat berupa mendengar dan menceritakan lelucon-lelucon yang bersifat seksual. Penyaluran tenaga birahi semacam ini adalah yang paling aman, karena tidak menggoncangkan lingkungannya, sehingga dapat diterima oleh masyarakat.

Selanjutnya kegemaran para mahasiswa terhadap lelucon yang bersifat protes sosial adalah wajar, karena mereka sebagai mahasiswa memang sedang dididik untuk menjadi kritis serta harus skeptis, tidak begitu saja mau menerima apa-apa yang dihidangkan. Dengan mulai ditanamkan sikap-sikap ini, maka tidak heranlah apabila mereka akan protes bila melihat orang-orang yang seharusnya menjadi panutan mereka malah menyeleweng serta bersifat munafik.

Mengenai dipilihnya lelucon sebagai media protes sosial oleh para mahasiswa, juga ada sebabnya. Sebabnya adalah bahwa media ini adalah yang paling sesuai dengan kepribadian tradisional bangsa kita yang tidak suka dikritik secara langsung seperti disindir dan sebagainya. Dan memang karena adanya sikap ini maka di negara kita, protes tidak langsung mempunyai efek yang lebih ampuh daripada yang langsung. Hal ini disebabkan karena lelucon yang merupakan bagian dari folklor adalah bersifat kolektif, sehingga protes yang dikandungnya dirasakan bukan datang dari perorangan melainkan dari kelompok yang bersangkutan, oleh karenanya menjadi lebih efektif rasanya.

Demikian demi menjaga keselarasan kehidupan politik (dan tentunya juga kesejahteraan jiwa pribadi), maka para mahasiswa lebih senang memilih lelucon yang bersifat protes sosial daripada desas-desus (rumor). Walaupun sebenarnya keduanya adalah dua wajah dari sekeping uang logam yang sama.

Lelucon yang bersifat protes sosial dan desas-desus yang bersifat protes sosial sebenarnya sama. Hal ini disebabkan karena seperti kedua-duanya adalah laporan yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya, atau suatu berita atau laporan kejadian yang tersebar terutama melalui lisan (lihat English & English 1957:470). Jadi desas-desus seperti halnya dengan lelucon sebenarnya tergolong dongeng, karena memiliki dua sifat dasar yang sama, yakni: bersifat fiktif dan berbentuk lisan.

Kendatipun demikian jika dikaji lebih mendalam, maka akan terasa adanya beberapa perbedaan di antara desas-desus dan lelucon. Adapun perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Desas-desus sifatnya masih kasar, sedangkan lelucon sudah diperhalus atau lebih tepat lagi sudah diperluhur (sublimasi).
  2. Desas-desus pada waktu diceritakan, selalu disertai oleh suasana serius, rahasia, penuh ketegangan dan kebencian; sedangkan lelucon pada waktu diceritakan selalu disertai oleh suasana santai, keterbukaan, main-main atau senda gurau.
  3. Desas-desus berpretensi berdasarkan kebenaran, sedangkan lelucon sama sekali tidak berpretensi demikian.
Adanya persamaan dan perbedaan di antara desas-desus dan lelucon ini adalah wajar, karena kita ketahui bahwa lelucon sebenarnya adalah sublimasi dari desas-desus mengenai apa saja, tetapi terutama mengenai politik dan kabar angin mengenai tema-tema yang bersifat SARA (Suku-bangsa, Agama, Rasialis, dan Antargolongan) (Danandjaja, 1984: 23-27). Hal ini disebabkan sublimasi adalah pengluhuran, atau pengalihan tujuan dari energi yang merupakan bagian dari kecenderungan primitif, ke arah baru yang merupakan saluran bukan diturunkan secara biologis. Atau dalam arti yang lebih luas lagi, sublimasi adalah penyesuaian dari kelakuan naluriah, agar dapat diterima oleh norma-norma konvensional, namun masih dapat memberi kepuasan, walaupun tidak sepenuhnya (English & English, 1959:533).

Atau dengan perkataan lain, sublimasi adalah pengarahan energi dari suatu kebangkitan hati (impulse) dari tujuan primitifnya ke suatu tujuan, yang secara kebudayaan atau kesusilaan lebih luhur sifatnya. (Webster's New Collegiate Dictionary, 1959: 844).

Jadi dapat disimpulkan bahwa lelucon sebenarnya adalah mekanisme perlindungan diri seorang (defence mechanism). Dan memang adalah salah satu bentuk dari mekanisme perlindungan jiwa (psyche) diri seseorang. Hal ini disebabkan dengan berlindung pada lelucon, seseorang dapat menyamari dorongan naluriah dengan hasil perilaku, yang dapat diterima oleh masyarakatnya. Sebagai akibatnya ia dapat menyalurkan agresifitasnya dengan aman, tanpa ada kekhawatiran akan ditindak oleh masyarakat. Jiwanya akan menjadi sejahtera, karena masyarakat akan menyambutnya dengan ganda tertawa, Yang menjadi sasaran pun tidak dapat membalas, karena ia pun sadar bahwa tanggung jawab sudah diambil alih oleh tradisi kolektif (folk) yang memperbolehkannya. Keadaanya akan menjadi sebaliknya apabila agresifitasnya itu masih dalam bentuk desas-desus, yang dapat saja dianggap sebagai subversif oleh yang merasa telah dijadikan sasaran serangan tersebut.

Berdasarkan uraian singkat diatas dapatlah dimengerti apabila para mahasiswa pada umumnya lebih senang menyalurkan ketidakpuasan hatinya dalam bentuk lelucon. Ini disebabkan para mahasiswa, yang sudah bersifat sophisticated itu, menyadari bahwa desas-desus bersifat terlalu primordial, blak-blakan, sehingga oleh penyebarnya, bahkan ada kalanya juga oleh penciptanya yang anonim itu dirasakan tidak akan dapat diterima oleh pendengarnya, yang sama sophisticated-nya seperti mereka. Dan dalam kenyataan memang dalam bentuk lelucon akan lebih dapat diterima dengan tanpa ada resistensi psikologis dari para pendengarnya.

Jadi sebagai kesimpulan dapatlah dikatakan lelucon, yang merupakan sublimasi dari desas-desus, timbul karena para mahasiswa selalu ada yang merasa risau, karena tidak puas pada keadaan masyarakatnya. Perasaan ketidakpuasan itu demi kesejahteraan jiwa mereka harus dikeluarkan berupa energi agresif. Dan karena mereka adalah pemuda yang sophisticated dan mengetahui bahwa agresi yang bersifat primitif bukan saja dilarang diungkapkan, bahkan juga ada sangsinya apabila dilakukan juga; maka desas-desus yang hendak disebarkan itu harus diubah dahulu ke dalam bentuk lelucon, agar dapat lolos dari sensor masyarakat.

Sebagai contoh misalnya, ada orang yang benci pada pada seorang gubernur baru, karena telah menggantikan gubernur lama, yang ia anggap sangat cakap sehingga tidak perlu diganti; maka timbullah di dalam lubuk hatinya untuk mendiskreditkan gubernur baru itu. Dalam bentuk desas-desus, gubernur baru itu akan digambarkan sebagai seorang yang bodoh, karena asalnya pun adalah kepala voorrijder* dari penjaga keamanan kepresidenan. Dalam bentuk desas-desus ini maka cerita burung itu dapat juga ia sebarkan, namun hanya dalam kalangan terbatas, dan jika ia ulangi beberapa kali, maka ada kemungkinan ia dapat dicap sebagai orang yang antipemerintah daerah. Keadaan ini sudah tentu akan dapat menimbulkan kecemasan (anxiety) di dalam hatinya. Namun karena dorongan agresi yang sadis ini tak kuasa ia bendung, maka terjadilah defence mechanism yang disebut sublimasi. Dan desas-desus tersebut ia ubah menjadi teka-teki lucu, yang berbunyi sebagai berikut:

"Tahu anda beberapa waktu yang lalu, di jalan Tol Jagorawi telah terjadi kecelakaan lalu lintas. Dan penumpangnya dalam mobil yang tertubruk itu adalah eks gubernur dan gubernur yang baru. Eks gubernur mendapat gegar otak, sedangkan gubernur yang baru tidak, walaupun mobil yang mereka tumpangi ringsek total. Tahu ndak apa sebabnya?" Jawab dari para pendengarnya, yang ingin tahu itu adalah: "Nda! kenapa ya?" Jawab si pembawa teka-teki humor dengan puas adalah: "Karena eks gubernur punya otak, sedangkan gubernur baru tidak!"
_________________________________________________________________________________
*Pengendara motor terdepan dalam iring-iringan rombongan.
_________________________________________________________________________________

Varian lain dari desas-desus yang sama adalah.
"Jaman A menjadi gubernur Ibu Kota Purwacarita, dia sering mengadakan inspeksi banjir pada musim penghujan. Inspeksinya tidak tanggung-tanggung. Biarpun air banjirnya sampai ke batas leher, ia masih terus melakukan inspeksi. Tetapi sekarang jamannya B menjadi gubernur lain lagi ceritanya. Dia juga sering mengadakan inspeksi banjir, tetapi air banjir baru sampai sebatas dia sudah buru-buru pulang". Pertanyaan adalah: "Mengapa B takut pada air banjir sebatas dengkul, sedangkan eks gubernur A tidak?" Jawabnya adalah: "Karena otak gubernur B terletak di dengkulnya, sedangkan otak eks gubernur A terletak di kepalanya!"

Suatu contoh lelucon lainnya yang juga merupakan sublimasi dari desas-desus adalah cerita mengenai seorang Indonesia yang ke Singapura untuk berobat. Dongeng ini asalnya adalah desas-desus yang mengatakan bahwa di Indonesia tidak ada kebebasan berbicara. Yakni dalam arti tidak boleh mengkritik kebijaksanaan Pemerintah. Adapun ceritanya adalah demikian:
"Ada seorang Indonesia yang untuk nambal giginya yang berlubang saja harus ke Singapura. Tentu saja dokter-dokter di Negara Singa itu merasa beruntung. Hanya sebagai seorang cendekiawan, ia merasa ingin mengetahui mengapa untuk tambal gigi saja, orang Indonesia harus ke luar negeri. Pertanyaan ini kemudian  ditanyakan kepada pasiennya. Sudah tentu dengan mohon maaf dulu atas kelancangannya. "Maaf ya Tuan! Mengapa untuk tambal gigi saja Tuan harus ke Singapura, apakah di Indonesia tidak ada dokter gigi, atau sedikitnya tukang gigi?" demikianlah pertanyaanya. Jawab pasien dari Indonesia sederhana sekali, "Ada sih ada, Tuan dokter! Yang profesor didikan Jerman pun ada! Hanya di negara saya, repotnya kita dilarang membuka mulut, itulah!" Komentar dokter gigi Singapura dengan penuh pengertian adalah, "O Allaaaaaah!!!!"

Fungsi lelucon protes sosial seperti kita lihat di atas, bagi para mahasiswa pada umumnya adalah sebagai protes sosial. Namun jika kita hendak melihat motivasi dari penyebaran lelucon politik, maka ada perbedaan dari pencipta yang anonim dan orang-orang yang turut menyebarluaskannya. Bagi penciptanya motivasi protes sosial adalah yang paling utama, sedangkan bagi orang-orang, yang turut menyebarluaskan humor tersebut, belum tentu adalah motivasi utamanya. Hal ini disebabkan ada banyak juga, yang turut menyebarkan humor protes sosial hanya karena ingin menghibur kawan-kawannya; atau ingin menjadi populer. Bahkan ada juga yang menyebarkan humor-humor semacam itu bukan dengan maksud anti-establishment, melainkan dengan maksud untuk menhindari dirinya dicap sebagai orang yang pro dengan establishment. Sebabnya adalah bahwa ia kebetulan adalah anggota dari kelompok establishment. Orang-orang ini adalah anak penguasa, atau orang yang kebetulan berhubungan dekat dengan penguasa.

Yang menarik adalah bahwa sering kali humor protes sosial ini bukan berasal dari mahasiswa, melainkan bersumber dari pejabat yang sudah turun panggung, atau jika masih berada di pentas tidak ingin diidetifikasikan dengan stereotip negatif para pejabat tertentu.

Kegemaran para mahasiswa Jakarta mengenai lelucon yang bersifat penghinaan terhadap suku-bangsa, bangsa lain atau golongan (ethnic slur) dapat juga kita mengerti, karena rakyat Indonesia masih dalam proses menajadi bangsa Indonesia, sehingga sampai kini masih banyak yang masih mempunyai perasaan prasangka pada kelompok lain. Semua perasaan ini sudah tentu akan menimbulkan tekanan jiwa, sehingga perlu ada penyalurannya yang aman dapat diterima masyarakat yang berdasarkan persatuan dan kesatuan bangsa, sehingga tidak akan menimbulkan gejolak sosial. Dan saluran yang aman tersebut antara lain berupa humor.

Contoh dari logat imigran mengenai orang Cina totok di Indonesia yang bersifat penghinaan suku bangsa (ethnic slur) adalah  sebagai berikut:
Pada suatu hari di Pengadilan Negeri telah datang seorang Cina totok yang mau diuji pengetahuannya mengenai sejarah Indonesia yang dilakukan dalam rangka permohonannya untuk menjadi warga negara Republik Indonesia. Oleh pengujinya, ia dipertunjukkan gambar Tengku Umar. Jawabnya adalah, "Aaa! owe tau lah, itu gambal Tengku Umal". Selanjutnya oleh penguji, ia dipertunjukkan gambar Pangeran Diponegoro. Terhadap gambar itu pun, ia dapat menjawabnya dengan betul, karena katanya, "Naaa! itu pun owe tau, itu kan gambal Diponegolo". Sebagai pertanyaan terakhir, ia dipertunjukkan potret Raden Ajeng Kartini. Dengan ekspresi muka yang cerah, calon warga negara Indonesia kita berteriak kegirangan, "Aya! itu pun owe tau. Itu adalah potlet Nyonya Meneel".

Letak lelucon dongeng ini adalah bahwa selain orang Cina totok pelo, dalam cerita ini ia gambarkan juga sebagai orang dungu, karena mengira bahwa gambar Raden Ajeng Kartini adalah gambar seorang wanita peranakan Cina, yang tertera pada kantung jamu merek "Nyonya Meneer". Sepintas lalu wanita itu memang mirip sekali dengan gambar Raden Ajeng Kartini karena keduanya sama-sama memakai kebaya model 'tempo doeloe', yang kini terkenal sebagai kebaya encim. Yang menarik dari lelucon ini adalah apabila kita tinjau segi fungsinya. Yakni untuk membesarkan hati orang Indonesia kebanyakan yang dengan cara ini, dapat menertawakan kedunguan orang Cina, karena dalam keadaan sehari-hari orang Cina menurut stereotipnya dianggap lebih lihai dari orang Indonesia.

Contoh humor lainnya yang juga berfungsi semacam di atas adalah teka-teki mengenai apa kepanjangan gelar MBA (Master of Business Administration). Jawabnya adalah Master by Accident, atau "Masih belum apa-apa". Humor ini menarik karena beredar di kalangan sarjana perguruan tinggi negeri. Menurut kami fungsi humor ini adalah untuk menetralisasi rasa rendah diri dari beberapa sarjana perguruan tinggi negeri yang di dalam batinnya mengetahui, bahwa sebenarnya banyak institut manajemen swasta justru lebih tinggi mutunya dari yang dimiliki oleh perguruan tinggi negeri. Sehingga dengan humor ini mereka dapat tetap bermimpi bahwa mutu perguruan tinggi negeri masih hebat di segala bidang.

Adanya lelucon yang bersifat jorok seperti mengenai najis (coprojokes) mungkin dapat dijelaskan dari psikoanalisis, yang menganggap bahwa lubang dubur juga merupakan zona erotis (erotic zone), sehingga dengan menceritakan lelucon mengenai najis, merupakan juga penyaluran perasaan erotik yang terkekang. Dan selain itu, dengan membawakan lelucon sebagai najis, sebenarnya si pembawa cerita secara tidak sadar hendak melawan adat, yang mentabukan sesuatu dari kehidupan kita yang sangat alamiah itu. Jadi dengan menceritakan lelucon semacam itu seorang remaja hendak menunjukkan sifat memberontaknya terhadap adat establishment secara agresif atau erotis. Sebagai tambahan dapat juga dikatakan bahwa humor najis semacam ini sering juga digunakan untuk menggoda orang yang sedang makan, sehingga dengan diceritakannya cerita yang najis tersebut orang itu menjadi tidak nafsu makan lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar